Jumat, 08 Januari 2016

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Dasar Hukum
1.    UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2.    KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
3.    KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
4.    KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
5.    Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
6.    Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
7.    Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.
Istilah Penting dalam UU PBB
( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)
1.   Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2.   Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
3.   Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
4.   Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5.   Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
Obyek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
·       Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan
Pengertian Bumi
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Pengertian Bangunan
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
·       Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
a.       Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b.      jalan TOL;
c.       kolam renang;
d.      pagar mewah;
e.       tempat olah raga;
f.       galangan kapal, dermaga;
g.      taman mewah;
h.      tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
i.        fasilitas lain yang memberikan manfaat;
Klasifikasi Bumi dan Bangunan ( Penjelasan Pasal 2 ayat (1)  UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
  
Subyek PBB
( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a.   mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b.   memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c.   memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d.   memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak  menjadi Wajib Pajak menurut UU PBB.
Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen). 
Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi  di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. 
Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00

Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)              
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)                                 

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)                                                  
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP

   XXXXX     
 XXXXX (-)
XXXXX     
     
 XXXXX     


XXXXX 


Objek Bea Materai

PENGERTIAN BEA MATERAI
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
  
DASAR HUKUM
1.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005
4.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
5.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
10.
Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.

ISTILAH-ISTILAH


-
Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.


-
Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.


-
Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.


-
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.


-
Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

OBJEK BEA MATERAI

Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :


a.
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.


b.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.


c.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.


d.
Surat yang memuat jumlah uang yaitu:

-
yang menyebutkan penerimaan uang;

-
yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;

-
yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

-
yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.


e.
Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.


f.
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.
  
TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.

Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:


1.
Dokumen yang berupa:

-
surat penyimpanan barang;

-
konosemen;

-
surat angkutan penumpang dan barang;

-
keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;

-
bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

-
surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.



2.
Segala bentuk ijazah



3.
Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.



4.
Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.



5.
Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.



6.
Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.



7.
Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut



8.
Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.



9.
Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.
 
TATA CARA PELUNASAN BEA MATERAI
SAAT TERUTANG

Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea Meterai adalah:


-
Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
-
Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
-
Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
  
CARA PELUNASAN BEA MATERAI


A.
Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Materai Tempel



Cara mempergunakan meterai tempel :



-
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

-
Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

-
Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.

-
Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.

-
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B.
Pelunasan Bea Materai dengan Menggunakan Kertas Materai



Cara mempergunakan kertas meterai :



-
Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.

-
Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

-
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

-
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.

-
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

C. 
Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan Mesin Teraan





Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:




1.
Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.




2.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:






-
mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.


-
melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.


-
Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.


-
Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

D. 
Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan Sistem Komputerisasi





1.
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.






-
mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.


-
pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).


-
menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.




2.
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.





  
E. 
Tata Cara Pelunasan Bea Materai Dengan Teknologi Percetakan





1.
Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.




2.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:






-
pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.


-
mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.




3.
Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.




4.
Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri


Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia.
  
TARIF BEA MATERAI

1.
Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:




a.
Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata

b.
Akta-akta Notaris termasuk salinannya

c.
Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;

d.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:


-
surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.


-
surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.


2.

Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:




-
nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai

-
nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-

-
nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-


3.

Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.



4.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.



5.
Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.